Kamis, 28 Februari 2008

Salah Satu Bedanya Pertanian Kita dengan Mereka

Kegiatan pertanian yang dilakukan Negara Thailand sepuluh tahun terakhir ini sungguh menakjubkan. Thailand telah membuktikan dirinya sebagai negara agraris handal dengan memunculkan produk pertanian baru berkualitas seperti jambu Bangkok, durian Bangkok, dan sebagainya. Belum lagi produk-produk pertanian hortikultura lainnya, baik sayuran ataupun tanaman hias. Pada waktu penulis melakukan magang di BBIH Pasir Banteng Sumedang, salah satu bahan kajian penulis yaitu anggrek Dendrobium, sengaja diimpor dari Thailand. Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan. Kita tahu Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya akan spesies anggrek, namun anggrek sekelas Dendrobium harus didatangkan dari Thailand.

Indonesia pun dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan sumber plasma nutfahnya, memiliki jutaan hektar lahan pertanian subur yang prospektif untuk pengembangan beraneka macam komoditas pertanian strategis yang didukung pula oleh ketersediaan tenaga kerja murah, namun sampai saat ini, produk sejenis apa saja yang bisa mengalahkan Thailand, serta berapa total volume ekspor produk pertanian apabila dibandingkan dengan Negara Thailand. Tentunya masih kalah jauh dengan Thailand.

Pengembangan sektor pertanian di Negara Thailand memang serius. Ketersediaan infrastruktur menjadi hal utama pemerintah dalam mengembangkan kegiatan pertaniannya. Semua fasilitas yang dibutuhkan petani dibangun pemerintah Thailand. Kita semua tahu, jalan sebagai saran transportasi pengangkutan produk pertanian serta saluran irigasi yang ada di Thailand jauh lebih baik dari negara kita. Jalan tersebut dibuat serius untuk memfasilitasi kelancaran kegiatan pertanian. Saluran irigasi dibuat lebar-lebar, tentunya dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Pengembangan teknologi budidaya dan pasca panen diperhatikan benar-benar sehingga saat ini baik budidaya maupun penanganan pasca panen tidak menjadi masalah yang berarti bagi petani. Thailand memiliki bank khusus untuk modal pengusahaan sektor pertanian, Bank of Agriculture and Agricultural Cooperatives. Prosedur peminjaman modalnya pun tidak rumit, bahkan akan sangat mudah apabila petani tersebut tergabung dalam sebuah koperasi. Anggunan bisa berupa tanah, deposito berjangka, ataupun melalui kelompok tani. Disamping itu, Thailand memiliki pasar induk terbesar se-Asia sebagai pasar pusat produk pertanian. Terbangunnya pasar seperti ini tentu bukanlah pekerjaan mudah, dibutuhkan sinergitas seluruh stakeholders. Pasar ekspor Thailand saat ini yaitu Eropa, Amerika Serikat, Jepang , Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Indonesia. Peranan Menteri Pertanian Thailand juga dalam mengembangkan pasar ekspor produk pertanian Thailand sangatlah penting. Keseriusan menteri tersebut terbukti dengan terbukanya kembali kran ekspor produk pertanian ke Amerika Serikat yang ditutup sebelumnya. Ini membuktikan bahun membahunya seluruh pelaku serta pengambil kebijakan untuk membangun dan mensukseskan pertanian Thailand. Itulah komitmen pemerintah Thailand dalam mengembangkan sektor pertanian di negaranya. Bagaimana dengan negara kita?

Sampai saat ini, produk pertanian kita sebenarnya belum tertinggal jauh dari segi kualitas dengan Thailand, bahkan kita memiliki keunggulan dari beragamnya produk khas kita yang bisa dilirik pasar internasional. Apabila dibandingkan juga keahlian antara petani Indonesia dengan petani Thailand tidaklah jauh berbeda. Teknik dan cara petani Thailand tidak terlalu canggih, masih relatif sama dengan petani Indonesia, namun dukungan penuh dari pemerintah dan seluruh stakeholders yang menjadikan petani Thailand lebih unggul dalam produksinya.

Campur tangan pemerintah Thailand sangat dirasakan manfaatnya oleh petani Thailand. Keterpaduan program dan kebijakan sangat mendukung iklim usaha pertanian yang progresif. Contoh nyata kepedulian pemerintah Thailand serta keseriusan dalam mengembangkan produksi pertanian yaitu dengan menyediakan bibit unggul yang berkualitas. Penelitian untuk menghasilkan bibit unggul ini didukung berbagai pihak sehingga saat ini yang ditanam petani Thailand adalah bibit unggul berkualitas sehingga terdepan dalam kualitas maupun kuantitas. Pemerintah membagikan bibit unggul hasil penelitian tersebut sehingga yang dihasilkan petani adalah produk pertanian berdaya saing tinggi dan diminati konsumen sehingga wajar saja apabila bisa menembus pasar internasional.

Hal berbeda terjadi di Indonesia. Waktu penulis melakukan penelitian tentang program revitalisasi jeruk keprok Garut-I dimana dalam program ini ditanam ribuan bibit jeruk keprok Garut-I yang murni dan sehat. Pemerintah kita melalui Dinas Pertanian Kabupaten Garut tidak melakukan kegiatan sebagaimana pemerintah Thailand. Pemerintah kita lebih terfokus pada tercapainya pelaksanaan program tersebut tanpa menghiraukan kualitas bibit jeruk yang diberikan ke petani. Alhasil, program revitalisasi jeruk tersebut yang sebenarnya telah dimulai pada Tahun 2004 sampai sekarang (terakhir Tahun 2007), belum menunjukkan hasil yang optimal. Banyak petani jeruk kecewa dengan bibit yang ditanam mereka sehingga mereka rugi jutaan rupiah. Program tersebut telah menghabiskan dana milyaran rupiah tanpa hasil yang memuaskan.

– Dea Maulana Yusuf, 24/02/08

Sabtu, 05 Januari 2008

Direktur Itu Bersahadat

Direktur Itu Bersyahadat Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Sabtu, 05 Januari 2008

Akhirnya, ”wanita menyebalkan” dengan tertawanya yang lepas dan bersuara keras itu mengucapkan dua kalimah syahadat dan memeluk Islam


Oleh: M. Syamsi Ali

Ketika pertama kali mengikuti kelas the Islamic Forum, wanita ini cukup menyebalkan sebagian peserta. Pasalnya, orangnya seringkali tertawa lepas, bersuara keras dan terkadang dalam mengekpresikan dirinya secara blak-blakan. Bahkan tidak jarang di tengah-tengah keseriusan belajar atau berdiskusi dia tertawa terbahak. Hal ini tentunya bagi sebagian peserta dianggap kurang sopan.

Theresa, demikian dia mengenalkan dirinya, sangat kritis dan agresif dalam menyampaikan pandangan-pandangannya. From what I’ve learned I do believe Islam is the best religion”, katanya suatu ketika. “but why women can not express themselves freely as men?, lanjutnya.

Dalam sebuah diskusi tentang takdir dan bencana alam, tiba-tiba Theresa menyelah “wait..wait…what? I don’t think God will allow people to suffer”. Ternyata maksud Theresa adalah bahwa Allah itu Maha Penyayang dan tidak mungkin akan menjadikan hamba-hambaNya menderita. Dia menjelaskan bahwa tidak mungkin bisa disatukan antara sifat Allah Yang Maha Pemurah dan penyayang dan bencana alam yang terjadi di berbagai tempat.

Biasanya saya memang tidak terlalu merespon secara serius terhadap pertanyaan atau pernyataan si Theresa tersebut. Saya tahu bahwa dia memang memiliki kepribadian yang lugas dan apa adanya, dan sangat cenderung untuk merasionalisasi segala hal. Belakangan saya tahu bahwa Theresa dengan nama akhir (last name) Gordon, ternyata adalah direktur sebuah rumah sakit swasta di Manhattan. Kedudukannya itu menjadikannya cukup percaya diri dan berani dalam mengekspresikan dirinya.

Namun dalam tiga minggu sebelum Ramadan lalu, terjadi perubahan drastis pada sikap dan cara bertutur kata Theresa. Kalau biasanya tertawa terbahak apa adanya, dan bahkan tidak ragu-ragu memotong pembicaraan atau penjelasan-penjelasan saya dalam diskusi-diskusi di kelas, kini dia nampak lebih kalem dan sopan. Hingga suatu ketika dia bertanya: “Is it true that Islam does not allow the women to laugh loudly?” Saya mencoba menjelaskan kepadanya: “It depends on its context” jawabku.

“Some women or people laugh loudly for no reasons but an expression of bad attitude. But some others do laugh because that is their nature”, jelasku.

Maksud saya dalam penjelasan tersebut, jangan-jangan Theresa sering tertawa keras dan apa adanya memang karena tabiatnya. Bukan karena prilaku yang salah. Kalau memang itu sudah menjadi bagian dari tabiatnya, tentu tidak mudah merubahanya. Sehingga kalau saya terfokus kepada masalah ketawa, jangan-jangan dia terpental dan lari dari keinginannya untuk belajar Islam.

Suatu hari Theresa meminta waktu kepada saya setelah kelas. Menurutnya ada sesuatu yang ingin didiskusikan. Setelah kelas usai saya tetap di tempat bersama Theresa. “I am sorry Imam” katanya. “Why and what is the reason for the apology?”, tanyaku. “I think I’ve been impolite in the class in the past”, katanya seraya menunduk. “Sister Theresa, I have been teaching in this class for almost 7 years. Alhamdulillah, I’ve received many people with many backgrounds. Some people are very quite and some others are the opposite”, jelasku. “But I always keep in mind that people have different ways of understanding things and different ways of expressing things”, lanjutku.

Saya kemudian menjelaskan kepadanya karakter manusia dengan merujuk kepada para sahabat sebagai contoh. Di antara sahabat-sahabat agung Rasulullah SAW ada Abu Bakar yang lembut dan bijak, tapi juga ada Umar yang tegas dan penuh semangat. Ada Utsman yang juga lembut dan sangat bersikap dewasa, tapi juga ada Ali yang muda tapi tajam dalam pandangan-pandangannya. “Even between themselves, they often involved in serious disagreement”, kataku. Tapi mereka salaing mamahami dan saling menghormati dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada.

“Do you think I will be able to change?”, tanyanya lagi. Saya berusaha menjelaskan bahwa memang ada hal-hal yang perlu dirubah dari cara bersikap dan bertutur kata, dan itu adalah bagian esensial dari ajaran agama Islam. Tapi di sisi lain, saya ingin menyampaikan bahwa dalam melakukan semua hal dalam Islam harus ada pertimbangan prioritas. “I am sure, one day when you decide to be a Muslim, you will do so”, motivasi saya. “But don’t expect to change in one day”, lanjutku.

Hampir sejam kami berdialog dengan Theresa. Ternyata umurnya sudah mencapai kepala 4. Bahkan Theresa adalah seorang janda beranak satu wanita dan sudah menginjak remaja.

Hari-hari Theresa memang sibuk Sebagai direktur rumah sakit di kota besar seperti Manhattan, tentu memerlukan kerja keras dan pengabdian yang besar. Tapi hal itu tidak menjadikan Theresa surut dari belajar Islam. Setiap hari Sabtu pasti disempatkan datang walaupun terlambat atau hanyak untuk sebagian waktu belajar.

Sekitar dua minggu sebelum Idul Adha, Theresa datang ke kelas sedikit lebih awal dan nampak berpakaian rapih. Selama ini biasanya berkerudung untuk sekedar memenuhi peraturan mesjid, tapi hari itu nampak berpakaian Muslimah dengan rapih. You know what, I’ve decided to convert”, katanya memulai percakapan pagi itu. “Alhamdulillah. You did not decide it Sister!”, kataku. “When some one decides to accept Islam, it’s God’s decision”, jelasku.

Beberapa saat kemudian beberapa peserta memasuki ruangan. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa ada berita gembira. “A good news, Theresa have decided to be a Muslim today”. Hampir saja semua peserta yang rata-rata wanita itu berpaling ke Theresa dan menyalaminya. “So the big lady will be a Muslim?”, kata salah seorang peserta. Memang Theresa digelari “big lady” karenanya sedikit gemuk.

Menjelang shalat Dhuhur, saya meminta Theresa untuk mengambil air wudhu. Sambil menunggu adzan Dhuhr, saya kembali menjelaskan dasar-dasar islam secara singkat serta beberapa nasehat kepadanya. Saya juga berpesan agar kiranya Theresa dapat menggunakan posisinya sebagai direktur rumah sakit untuk kepentingan Islam. “Insha Allah!”, katanya singkat.

Setelah adzan dikumandangkan saya minta Theresa untuk datang ke ruang utama masjid. Di hadapan ratusan jama’ah, Theresa mempersaksikan Islamnya: “Laa ilaaha illa Allah-Muhammadan Rasul Allah”. Allahu Akbar! [www.hidayatullah.com]

New York, December 24, 2007

* Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

Rabu, 14 November 2007